Kamis, 01 Januari 2009

GENDER

BAB 20

GENDER DAN KAJIAN TENTANG PEREMPUAN

Salah satu isu penting yang muncul menjelang berahirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentng gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial, menjadi pokok bahasan dalam wacana perdebatan mengenai perubahan social dan juga menjadi topik utama dalam perbincangan mengenai pembangunan dan perubahan sosial.

Bahkan beberapa waktu terakhir ini, berbagai tulisan baik di media massa maupun buku-buku, atau kegiatan-kegiatan seperti seminar, diskusi dan sebagainya banyak membahas tentang protes dan gugatan yang terkait dengan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan dan diskriminasi tersebut terjadi di hampir semua tingkatan dan sektor, mulai dari tingkat internasional, negara, keagamaan, sosial (kemasyarakatan), budaya, ekonomi, sampai pada tingkat rumah tangga. Apa sebenarnya pengertian gender?

1. Perbedaan Seks dan Gender

Istilah gender pada awalnya dikembangkan sebagai suatu analisis ilmu sosial oleh Ann Oakley (1972, dalam Fakih, 1997), dan sejak saat itu menurutnya gender lantas dianggap sebagai alat analisis yang baik untuk memahami persoalan dikriminasi terhadap kaum perempuan secara umum.

Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu konsep jenis kelamin (seks) digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh (Tuttle, Lisa, Encyclopedia of Feminism, 1986). Misalnya, laki-laki memiliki penis, testis, jakala, memproduksi sperma dan cirri-ciri biologis lainnya yang berbeda dengan biologis perempuan. Sementara perempuan mempunyai alat reproduksi seperti rahim, dan saluran-saluran untuk melahirkan, memproduksi telur (indung telur), vagina, mempunyai payudara dan air susu, dan alat biologis perempuan lainnya sehingga bisa haid, hamil dan menyusui atau yang disebut dengan fungsi reproduksi.

Alat-alat yang dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut merupakan atribut yang melekat pada setiap manusia selamaya dan fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Alat-alat tersebut bersifat permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan (kodrat). Sementara Illich (1991,14) membedakan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan berdasarkan biologis dan anatomi. Karena itu jenis kelamin (seks) merupakan sifat bawaan dengan kelahirannya sebagai manusia.

Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan. Margert Mead (Sex and Temperament in Three Primitive Societies, 1935) menyatakan bahwa jenis kelamin adalah biologis dan perilaku gender adalah konstrusi sosial. Menurut Oakley (1972, dalam Fakih, 1997), gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sebagai misal, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut bukan kodrat, karena tidak selamanya dan dapat pula dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebaginya, sebaliknya perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, perkasa dans ebagainya.

Menurut Oakley (1972, dalam Fakih, 1997), gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sebagai misal, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut bukan kodrat, karena tidak selamanya dan dapat pula dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, keibuan dan sebaginya, sebaliknya perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, perkasa dans ebagainya.

Engels (dalam Fakih,1997) menjelaskan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, dan konstruksi social, cultural dan keagamaan, bahkan melalui kekuasaan negara. Oleh karena melalui proses yang begitu panjang itulah, maka lama-kelamaan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan menjadi seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak dapat diubah lagi. Demikian pula sebaliknya, sosialisasi kontruksi social tentang gender secara evolusi pada akhirnya mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis masing-masing jenis kelamin. Seperti misalnya, gender laki-laki harus kuat dan agresif, sehingga dengan konstruksi social semacam itu menjadikan laki-laki terlatih dan termotivasi mempertahankan sifat tersebut, dan akhirnya laki-laki menjadi lebih kuat dan lebih besar. Akan tetapi, dengan berpedoman bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu an sepanjang sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan sama sekali bukan kodrat (Fakih, 1997:10).

Dengan demikian gender sebagai suatu konsep merupakan hasil pemikiran atau rekayasa manusia, dibentuk oleh masyarakat sehingga gender bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat istriadat, budaya, agama dan sistem nilai dari bangsa, masyarakat dan suku bangsa tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan politik, ekonomi dan sosial budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan demikian, gender tidak bersifat universal atau tidak berlaku secara umum, akan tetapi bersifat situasional masyarakatnya. Oleh karena itu tidak terjadi kerancuan dan pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut jenis kelamin (seks) dan gender.

2. Berbagai Pengertian Tentang Gender?

Kata gender dalam bahasa Indonesia, dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut kamus, tidak secara jelas dibedakan penegrtian sex dan gender. Echols dan Shadily (1983:265) menyebutkan bahwa gender berarti jenis kelamin. Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Menurut Women’s Studies Encyclopedia, gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam bukunya Sex and Gender: an Introduction, Halary M. Lips menyebutkan gender sebagai harapan-harapan budaya pada laki-laki dan perempuan.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang perbedaan antara seks (jenis kelamin) dan gender, berikut akan disajikan bagannya.

SEKS GENDER

Biologis Kultur, Adat Istiadat








Pemberian Tuhan Bentukan setelah lahir

(Kodrat) Diajarkan melalui sosialisasi

Internalisasi


Kodrati (alami) Konstruksi sosial

Tidak Dapat Diubah Dapat Diubah (Dinamis)

Peran Seks Peran Gender

Laki-laki Perempuan Memasak, mencuci,

merawat anak dan ortu,

mendidik anak, bekerja di luar rumah, menjadi tenaga professional dsb.

Produksi Reproduksi

(Haid, hamil,

melahirkan,

menyusui,dsb)

Perbedaan Antar Jenis Kelamin dan Gender beserta contohnya

Jenis Kelamin

Contoh

Gender

Contoh

1. Tidak dapat berubah

Alat kelamin laki-laki dan perempuan

1. Dapat berubah

Peran dalam kegiatan sehari-hari, seperti lebih banyak perempuan jadi juru masak jika di rumah, tetapi jika di restoran lebih banyak laki-laki jadi juru masak.

2. Tidak dapat dipertukarkan

Jakun pada laki-laki dan payudara pada perempuan

2. dapat dipertukarkan


3. Berlaku sepanjang masa

Status sebagai laki-laki atau perempuan

3. Tergantung kebudayaan dan kebiasaan

Di Pulau Jawa, pada jaman penjajahan Belanda kaum perempuan tidak memperoleh hak pendidikan, setelah Indonesia merdeka, perempuan mempunyai kebebasan untuk mengikuti pendidikan

4. Berlaku dimana saja

Di rumah, di kantor dan dimana pun berada, seorang laki-laki atau perempuan tetap laki-laki dan perempuan

4. Tergantung kebudayaan setempat

Pembatasan kesempatan dibidang pekerjaan terhadap perempuan dikarenakan budaya setempat, antara lain: diutamakan untuk menjadi perawat, guru TK, pengasuh anak

5. Merupakan Kodrat Tuhan

Laki-laki mempunyai cirri-ciri utama yang berbeda dengan cirri-ciri utama perempuan. Misal: Jakun

5. Bukan merupakan kodrat Tuhan

Pengaturan jumlah anak dalam suatu keluarga

6.Ciptaan Tuhan

Perempuan bisa haid, hamil, melahirkan dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak bisa.

6. Buatan Manusia

Laki-laki dan perempuan berhak menjadi calon Ketua RT, RW, Kepala Desa, bahkan Presiden

Sumber: Meneg PP: Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif diperbanyak oleh Bapemas Propinsi Jawa Timur, tahun 2002

Istilah gender memiliki beberapa pengertian, sebagaimana dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsha Putra (2000) seperti dikutip Mufidah (2004:4), sebagai berikut:

2.1. Gender Sebagai Suatu Istilah Asing dengan Makna Tertentu

Gender berasal dari istilah asing gender yang maknanya tidak banyak diketahui orang secara benar, sehingga wajar jika istilah gender menimbulkan kecurigaan tertentu pada sebagian orang yang mendengarnya. Acapkali, orang memandang perbedaan gender disamakan dengan perbedaan seks (jenis kelamin) sehingga meninmbulkan pengertian yang salah.

2.2. Gender Sebagai Suatu Fenomena Sosial Budaya

Perbedaan jenis kelamin (seks) adalah alami dan kodrati dengan ciri-ciri yang jelas dan tidak dapat dipetukarkan. Oleh karena itu diskriminasi gender tapa mengindahkan perbedaan jenis kelamin yang ada, sama halnya dengan mengingkari suatu kenyataan. Bahkan dijekaskan bahwa kehidupan di dunia ini tidak akan bertahan tanpa ada lagi fungsi reproduksi perempuan, kalau pun ada itu melalui rekayasa.

Sebagai fenomena sosial, gender bersifat relatif dan kontekstual. Gender yang dikenal dalam masyarakat Bali misalnya, berbeda dengan yang dikenal masyarakat Minang, demikian juga dalam masyarakat Jawa. Hal ini sebagai akibat dari konstruksi sosial budaya yang membedakan peran berdasarkan jenis kelamin.

2.3. Gender Sebagai Suatu Kesadaran Sosial

Konsep gender dalam wacana akademik dimaknai sebagai sustu kesadaran sosial. Pembedaan sexual dalam masyarakat merupakan suatu konstruksi sosial. Beraawal dari sinilah kemudian masyarakat menyadari bahwa pembedaan tersebut merupakan produk sejarah dan interaksi warga dengan komunitasnya. Hal inilah yang melahirkan kesadaran bahwa ada banyak hal yang perlu diubah agar hidup ini menjadi lebih baik harmonis dan berkeadilan. Masyarakat sadar akan adanya jenis kelamin tertentu yang lebih unggul sehingga terjadi dominasi jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain, dan di sini gender menjadi persoalan sosial budaya.

2.4. Gender Sebagai Suatu Persoalan Sosial Budaya

Pembedaan laki-laki dan perempuan sebenarnya bukan menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat. Pembedaan tersebut menjadi masalah ketika melahirkan ketidakadilan dan ketimpangan, karena jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari njenis kelamin yang lain. Oleh karena itu, untuk menghapus ketidakadilan gender tidak mungkin dilakukan tanpa melihat akar permasalahannya yaitu pembedaan atas dasar jenis kelamin.

2.5. Gender Sebagai Sebuah Konsep untuk Analisis

Dalam ilmu sosial, konsep dan definisi gender tidak dapat dilepaskan dari asumsi dasar suatu paradigma. Asumsi dasar tersebut merupakan pandangan filosofis dan ideologis. Untuk kepentingan analisis, konsep gender dipahami sebagai akibat dari pembedaan atas dasar jenis kelamin atau yang lain menurut paradigma yang digunakan.

Bahkan Fakih (1997:3) menyebutkan bahwa pemahaman dan pembedaan antara konsep jenis kelamin dan gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan soaial yang menimpa kaum perempuan. Menurutnya, hal ini disebabkan ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Sebagai analisis baru, disbanding dengan analisis social lainnya, sebenarnya analisis gender tidak kalah mendasar, sebab analisis gender justru mempertajam analisis kritis yang ada. Misalnya analisis kelas yang dikembangkan oleh Karl Marx ketika melakukan kritik terhadap system kapitalisme, menjadi lebih tajam jika pertanyan tentang gender juga dikemukakan. Demikian pula analisis kritis lain seperti hegemoni ideology dan cultural sebagaimana yang dikembangkan oleh Antonio Gramci. Demikian halnya, analisis kritis dalam bidang kebudayaan maupun politik, tanpa pertanyaan tentang gender, kan berwatak mendua. Di satu saat sedang memperjuangkan suatu bentuk ketidakadilan, namun pada saat yang sama justru melanggengkan suatu bentuk ketidakadilan gender. Dengan demikian, analisis gender merupakan analisis kritis yang mempertajam berbagai analisis kritis ekonomi, social, politik, dan budaya yang sudah ada.

2.6. Gender Sebagai Sebuah Perspektif untuk Memandang Suatu Kenyataan

Dalam kaitan ini, gender menjadi sebuah paradigma atau kerangka teori lengkap dengan susmsi dasar, model, dan konsep-konsepnya. Peneliti menggunakan ideologi gender untuk mengungkap pembagian peran atas dasar jenis kelamin beserta implikasi-implikasi sosial budaya yang ditimbulkannya.

Menurut Umar (1999:35), gender sebagai suatu konsep yang digunakan untuk mengidentikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam pengertian tersebut mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.

Memperhatikan pengertian-pengertian gender tersebut di atas, maka berarti bahwa pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep jenis kelamin (seks) dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidakadilan sosial, atau ada keterkaitan antara persoalan gender dan persoalan ketidakadilan sosial lainnya. Dengan demikian, pemahaman atas konsep gender sangat diperlukan mengingat dari konsep ini, lahirlah suatu analisis gender.

Akan tetapi, pada akhir-akhir ini terjadi pemutarbalikan pemahaman dalam masyarakat. Apa yang sesungguhnya gender, yang pada dasarnya merupakan konstruksi sosial, justru dianggap sebagai kodrat yang berarti ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan. Artinya ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat wanita adalah hasil konstruksi social dan cultural atau gender (Fakih, 1997: 11). Gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berfikir dan bertindak sesuai ketentuan social tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan biologis itu dianggap ketentuan Tuhan.

Masyarakat sebagai suatu kelompok, menciptkan perilaku pembagian gender untuk menentukan apa yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga atau urusan domestik seperti memasak, mencuci dan merawat anak acapkali dianggap kodrat wanita. Padahal peran gender semacam itu adalah hasil konstruksi social dan kultural dalam masyarakat. Peran-peran gender semacam itu bisa pula dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, jenis pekerjaan bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal.

Setelah mengetahui perbedaan antara konsep jenis kelamin (sex) dan gender, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah perbedaan jenis kelamin dapat melahirkan perbedaan gender? Lantas permasalahan apa pula yang muncul dengan adanya perbedaan gender tersebut?

3. Perbedaan Gender dan Lahirnya Ketidakadilan

Sebenarnya perbedaan gender (gender differences) tidak akan menjadi masalah selama tidak memunculkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Akan tetapi, dalam kenyataan perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Sedangkan ketidakadilan gender adalah suatu system dan struktur di mana laki-laki dan perempuan menjadi korban system tersebut. Untuk memahami persoalan yang muncul sebagai akibat adanya perbedaan gender dapat dilihat manifestasinya sebagai berikut: Fakih (1997: 12-23).

3.1. Gender dan Marginalisasi Perempuan

Bentuk ketidakadilan gender yang berupa proses marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan disebabkan oleh perbedaan gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta mekanisme proses marginalisasi perempuan karena perbedaan gender. Dari aspek sumber misalnya, marginalisasi atau pemiskinan perempuan dapat bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi atau kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

Revolusi hijau (green revolution) misalnya, secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya dan kehilangan pekerjaan sehingga terjadilah proses pemiskinan terhadap perempuan. Banyak kaum perempuan miskin di desa termarginalisasi, sehingga semakin miskin dan tersingkir karena tidak memproleh pekerjaan di sawah. Hal ini berarti bahwa program revolusi hijau direncanakan tanpa mempertimbangkan aspek gender.

Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat kerja, akan tetapi juga terjadi di semua tingkat seperti dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan sampai pada tingkat negara.

3.2. Gender dan Subordinasi

Pandangan gender ternyata tidak saja berakibat terjadinya marginalisasi, akan tetapi juga mengakibatkan terjadinya subordinasi terhadap perempuan. Adanya anggapan dala masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irrasional dalam berpikir, perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin (sebagai pengambil keputusan), maka akibatnya perempuan ditempatkan pada posisi yang tidak penting dan tidak strategis (second person).

Bentuk subordinasi akibat perbedaan gender ini bermacam-macam, berbeda menurut tempat dan waktu. Pada masyarakat Jawa misalnya, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur. Bahkan dalam keluarga yang memiliki keuangan terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki. Contoh lain, bila seorang laki-laki (baca: suami) akan mengambil kredit di lembaga perbankan maka bisa membuat keputusan sendiri, sebaliknya istri (perempuan) harus seijin suaminya. Praktek subordinasi ini sebenarnya bermula dari kesadaran gender yang tidak adil.

3.3. Gender dan Stereotipi

Stereotipi adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu stereotipi yang dikenalkan dalam bahasan ini adalah stereotipi yang bersumber pada pandangan gender. Karena itu banyak bentuk ketidakadilan terhadap jenis kelamin yang kebanyakan adalah perempuan yang bersumber pada stereotipi yang melekatnya. Sebagai contoh, adanya anggapan bahwa perempuan yang bersolek atau memakai rok mini akan memancing perhatian lawan jenis, sehingga bila terjadi pelecehan seksual dan perkosaan maka perempuanlah tersebut yang disalahkan. Contoh lain adalah adanya anggapan bahwa bahwa tugas perempuan adalah melayani suami (di rumah), karena itu pendidikan dianggap tidak penting bagi perempuan. Tidak sedikit stereotipi terhadap perempuan yang terjadi dalam peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat. Stereotipi semacam itu juga terjadi pada pekerjaan perempuan, seperti adanya anggapan bahwa perempuan bukan pencari nafkah utama keluarga, maka perempuan yang bekerja acapkali dianggap sebagai “sambilan” atau “membantu suami”. Bahkan banyak jenis pekerjaan perempuan yang dianggap tidak bermoral, misalnya pekerjaan sebagai “pelayan” di tempat-tempat minum, “tukang pijat”, atau pekerjaan lainnya yang terkait dengan industri perhotelan dan tourisme, serta pekerjaan yang dilakukan pada waktu malam hari.

.

3.4. Gender dan Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah suatu serangan (assault) baik terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap manusia bisa terjadi karena berbagai macam sumber, salah satunya adalah kekerasan yang bersumber pada anggapan gender. Kekerasan semacam itu disebut “gender-related violence” yang pada dasarnya terjadi karena adanya ketidaksetaraan kekuatan atau kekuasaan dalam masyarakat. Banyak macam kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender yang dilakukan mulai dari tingkat rumah tangga sampai pada tingkat negara. Antara lain sebagai berikut:

  1. Perkosaan terhadap perempuan, termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang memaksa untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa ada kerelaan dari yang bersangkutan. Meskipun ketidakrelaan ini acapkali tidak terekspresikan karena berbagai factor, seperti ketakutan, malu, keterpaksaan ekonomi, social dan kulutral, bahkan tidak jarang karena adanya ancaman tertentu.
  2. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domenstic violence). Termasuk dalam kekerasan dalam rumah tangga ini adalah kekerasan atau penyiksaan terhadap anak (child abuse).
  3. Penyiksaan organ alat kelamin (genital mutilation), seperti penyunatan terhadap anak perempuan, yang salah satu alasannya adalah untuk mengontrol perempuan.
  4. Prostitusi atau pelacuran. Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan karena suatu mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan. Masyarakat dan negara acapkali memandang pekerja seksual selalu menggunakan standar ganda, artinya di satu sisi, pemerintah melarang dan menangkapi pekerja seksual, namun di sisi lain negara juga menarik pajak dari pekerja seksual. Selain itu pekerja seksual dianggap rendah oleh masyarakat, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukan pekerja seksual selalu ramai dikunjungi orang.
  5. Kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pornografi. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan non-fisik, yakni pelecehan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan obyek demi keuntungan seseorang. Hal ini bisa disebut pornografi.
  6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana (enforced sterilization). Keluarga Berencana di banyak masyarakat menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Karena untuk memenuhi target dalam mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan acapkali dijadikan korban demi suksesnya program tersebut, meskipun kita semua tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan juga berasal dari kaum lelaki. Namun karena telah terjadi bias gender, maka perempuan yang dipaksa untuk melakukan sterilisasi, meskipun sering kali membahayakan perempuan baik secara fisik maupun kejiwaan.

  1. Kekerasan terselubung (molestation). Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terselubung (molestation) seperti misalnya memegang atau menyentuh bagian tubuh perempuan dalam berbagai cara dan kesempatan tanpa kereelaannya. Jenis kekerasan terselubung ini dapat terjadi di tempat kerja, tempat umum seperti dalam bus dan sebagainya. Pelecehan seksual ini juga sering terjadi di tempat umum, seperti bus kota dan lain sebagainya.
  2. Kekerasan terhadap perempuan yang paling umum dan sering terjadi dan dilakukan dalam masyarakat adalah berupa pelecehan seksual (sexual and emotional harassment). Jenis kekerasan semacam ini yang banyak terjadi adalah unwanted attention from men. Selain itu pelecehan juga terjadi dalam bentuk lelucon jorok secara vulgar dan ofensif dihadapan kaum perempuan, menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor, menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya dalam struktur organisasi kerja, meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau promosi di tempat kerja, atau menyentuh/menyenggol bagian tubuh tanpa serela atau tanpa seizin yang bersangkutan. Kasus pelecehan seksual yang terjadi terhadap buruh perempuan juga bukan rahasia lagi.

3.5. Gender dan Beban Kerja

Karena adanya anggapan dalam masyarakat kita bahwa kaum perempuan bersifat memelihara, rajin, dan tidak cocok menjadi kepala rumah tangga, maka akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu beban kerja perempuan yang berat dan alokasi waktu yang lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangga; mulai dari mengepel lantai, memasak, dan merawat anak dan sebagainya.

Di kalangan keluarga miskin, beban berat harus dikerjakan sendiri, apalagi selain harus mengerjakan tugas-tugas domestik, mereka masih juga dituntut harus bekerja, sehingga perempuan miskin memikul beban kerja ganda. Sedangkan bagi keluarga kaya, beban kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers). Pembantu rumah tangga inilah yang menjadi korban dari bias gender di masyarakat. mereka bekerja berat dan lebih lama, tanpa perlindungan dan tanpa adanya kebijakan negara. Selain tanpa perlindungan, hubungan mereka bersifat feodalistik dan perbudakan.

Sebagai akibat bias gender, beban kerja diperkuat lagi dengan pandangan masyarakat bahwa semua pekerjaan yang dilakukan perempuan dalam rumah tangga (domestik) dianggap sebagai “pekerjaan perempuan” karenanya dianggap rendah, dibanding jenis pekerjaan yang dianggap “pekerjaan laki-laki”dan dianggap tidak produktif sehingga tidak diperhitungkan dalam ststistik ekonomi negara, dan sebagai konsekuensinya upah perempuan lebih rendah disbanding laki-laki, bahkan pada jenis pekerjaan yang sama. Keadaan ini telah disosialisasikan selama berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.

Dalam kaitannya dengan beban ganda tersebut, Mosser (1999) menyebutkan bahwa perempuan tidak saja berperan ganda, akan tetapi perempuan memiliki triple role (triple burden), yaitu peran reproduksi, yaitu peran yang berhubungan dengan peran tradisional di sector domestik, peran produktif yaitu peran ekonomis di sector publik dan peran social yaitu peran di komunitas.

Wujud dari ketidakadilan gender seperti marginalisasi, subordinasi, kekerasan, stereotipi dan beban kerja sebagaimana telah diuraikan di atas terjadi di tingkat negara (seperti perundang-undangan dan kebijakan kebijakan yang mencerminkan ketidakadilan gender), terjadi di tempat kerja, dalam adat istiadat, kultur masyarakat, dalam tafsir keagamaan, danjuga terjadi dalam rumah tangga. Hal berarti bahwa semua bentuk ketidakadilan gender sebagaimana yang telah disebutkan pada uraian di atas, sesungguhnya saling terkait dan saling mempengaruhi. Bahkan hal tersebut telah tersosialisasi dan mendarah daging selama bepuluh bahkan beratus-ratus tahun yang lalu mulai tingkatan keyakinan seseorang, keluarga bahkan tingkat negara. Konsekuensinya, baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akibatnya peran gender dianggap sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Akhirnya lahir suatustruktur dan system ketidakadilan gender yang “diterima” dan dianggap tidak sebagai sesuatu yang salah.

4. Perspektif

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelum ini, dapat kita ketahui bahwa akar ketidakadilan gender adalah terjadinya perbedaan gender. Ada pendapat yang berbeda-beda dalam merespon ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat, karena perbedaan pandangan, persepektif atau paradigma yang dianutnya.Dalam studi tentang gender, terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni aliran status quo atau fungsionalisme dan aliran konflik.

4.1. Paradigma fungsionalisme dalam Feminisme

Aliran fungsionalisme struktural atau sering disebut aliran fungsionalisme, adalah aliran arus utama (mainstream) dalam ilmu social yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Teori ini tidak secara langsung menyinggung persoalan perempuan. Akan tetapi penganut aliran ini bahwa masyarakat adalah suatu system yang terdiri atas bagian, dan saling berkaitan (agama,pendidikan,struktur politik sampai keluarga) dan masing-masing bagian selalu berusaha untuk mencapai keseimbangan (equilibrium) dan keharmonisan, sehingga dapat menjelaskan posisi kaum perempuan.(Fakih,1977:80) Teori ini berkembang untuk menganalisis tentang struktur sosial masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait meskipun memiliki fungsi yang berbeda. Perbedaan fungsi tersebut justru diperlukan untuk saling melengkapi sehingga suatu system yang seimbang dapat terwujud. Oleh karena itu, konsep gender, menurut teori structural fungsional dibentuk menurut pembagian peran dan fungsi masing-masing laki-laki dan perempuan secara dikotomi agar tercipta keharmonisan antara laki-laki dan perempuan.

Menurut penganut teori ini, masyarakat berubah secara evolusioner, sehingga konflik dalam masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi social dan keseimbangan. Teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti dihindarkan. Jadi, teori ini menentang setiap upaya yang akan menggoncang status quo, termasuk yang hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yang selama ini. (Fakih, 1997,81)

Pengaruh fungsionalisme tersebut dapat ditemui dalam pemikiran Feminisme Liberal. Sebelum dijelaskan tentang tentang feminisme liberal, apa sebenarnya yang disebut dengan feminisme? Pada umumnya orang berprasangka bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki, upaya melawan pranata social yang ada, seperti institusi rumah tangga, perkawinan maupun usaha pemberontakan perempuan untuk mengingkari kodrat. Karena adanya prasangka tersebut, maka feminisme tidak mendapat tempat pada kaum perempuan, bahkan ditolak oleh masyarakat Sedangkan menurut kaum feminis, feminsme seperti halnya aliran pemikiran dan gerakan yang lain bukan merupakan suatu pemikiran dan gerakan yang berdiri sendiri, akan tetapi meliputi berbagai ideology, paradigma serta teori yang dipakainya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideology yng berbeda tapi mempunyai kesamaan tujuan yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Sebab gerakan ini berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa perempuan ditindas, dieksploitasi dan berusaha untuk menghari penindasan dan eksploitasi. (Fakih, 1997:78-79)

Aliran feminis liberal yang dipengaruhi oleh teori structural fungsionalisme, muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, akan tetapi pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam mendefinisikan masalah kaum perempuan, aliran ini tidak melihat struktur dan system sebagai pokok permasalahan.

Asumsi dasar feminisme liberal adalah bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam memperjuangkan persoalan masyarakat, menurut kerangka kerja feminis liberal, tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, termasuk didalamnya kaum perempuan. Kesempatan dan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan ini penting, sehingga tidak perlu pembedaan kesempatan. Oleh karena itu, ketika ditanyakan, mengapa kaum perempuan dalam keadaan terbelakang atau tertinggal? Menurut aliran Feminisme liberal hal itu disebabkan oleh kesalahan “mereka sendiri”. Artinya, jika system sudah memberikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan, jika ternyata kaum perempuan tersebut kalah dalam bersaing, maka kaum perempuan itu sendiri yang perlu disalahkan. Aliran ini kemudian mengusulkan, bahwa untuk memecahkan masalah kaum perempuan cara yang dilakukan adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.(Tong, 1983 dalam Ichromi, 1995:83)

Sebagian dari usaha ini dapat dilihat, misalnya, dalam program-program Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development) yakni dengan menyediakan “program intervensi guna meningkatkan taraf hidup keluarga seperti pendidikan, keterampilan” serta “kebijakan yang dapat meningkatkan kemampuan perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan”. Feminisme liberal tidak pernah mempersoalkan terjadinya diskriminasi sebagai akibat dari ideology patriarki (Fakih,1997, 80-83)

4.2. Paradigma Konflik dalam Feminisme

Teori konflik lahir sebagai reaksi terhadap teori struktural fungsional. Teori ini percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) yang merupakan sentral dari setiap hubungan social termasuk hubungan laki-laki dan perempuan.

Bagi penganut aliran konflik, gagasan dan nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai alat untuk menguasai dan melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan perempuan. Atas dasar asumsi itu, maka perubahan akan terjadi melalui konflik, yang berakibat akan merubah posisi dan hubungan. Demikian juga, perubahan yang terjadi pada hubungan antara laki-laki dan perempuan akan dilihat dari konflik antar dua kepentingan. Aliran feminisme yang dikategorikan dalam teori konflik ini adalah :

Kelompok pertama, aliran Feminisme Radikal. Aliran ini justru muncul sebagai kultur sexism atau diskriminasi social berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 60-an, yang sangat penting dalam melawan kekerasan seksual dan pornografi (Brownmiller, 1976 dalam Fakih, 1997: 84).

Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua system kelas sosial: pertama, system kelas ekonomi yang didasarkan pada hubungan produksi dan kedua, system kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kedua inilah yang menyebabkan penindasan pada perempuan. (Bashin, 1996 :36). Karena itu konsep patriarki merujuk pada system kelas yang kedua, yaitu pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum l kapasitas reproduktif perempuan. Para penganut feminisme radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsure-unsur aki-laki, yang didasarkan pada pemilikan dan kontrol laki-laki atas seksual atau biologis, sehingga dalam melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaun perempuan oleh laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya. (Amal, 1995 dalam Ichromi, 1995: 93). Dengan demikian “kaum laki-laki” secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Berawal dari situlah aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan (Jaggar, 1977 dalam Fakih, 1997: 85). Lebih lanjut, penganut aliran feminis radikal, patriarki adalah sumber ideology penindasan yang merupakan system hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi (Eisenstein,1979).

Akan tetapi aliran feminis Marxis, menganggap bahwa analisis yang dilakukan feminis liberal disebut sebagai ahistoris, karena menganggap patriarki sebagai hal yang universal dan merupakan akar dari segala penindasan. Dalam melakukan analisis hubungan antara laki-laki dan perempuan, mereka tidak menggunakan kerangka teori kelas secara serius, sehingga sering dianggap membingungkan. Karenaitu hubungan gender direduksi pada perbedaan kodrati yang bersumber dari biologi.

Kelompok penganut teori konflik yang kedua adalah Feminisme Marxis. Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminisme radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar pembedaan gender. Bagi mereka penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Karl Marx sendiri tidak banyak menjelaskan dalam torinya tentang posisi kaum perempuan dalam perubahan social. Menurut Marx, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.

Sedangkan Engels (dalam Fakih,1997:87)mengulas masalah ini dalam sejarah prakapitalisme, dengan menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan karena perubahan dalam organisasi kekayaan sebagaimana dijelaskan bukunya yang berjudul The Origin of the Family: Private Property and the State. Oleh karena sejak awal, laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan social dan politik dan perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka. Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai. (Amal, 1995 dalam Ichromi, 1995: 89)

Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh berbagai cara dan alasan karena menguntungkan. (Fakih, 1997: 87-88) Pertama, eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi oleh kapitalis tersebut, setelah sampai di rumah dan laki-laki terlibat hubungan kerja dengan istrinya. Dalam analisis ini system dan struktur hubungan antara kapitalis, buruh, dan istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi system kapitalisme dalam reproduksi buruh murah. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka menguntungkan system kapitalisme karena dua alas an, yaitu upah buruh perempuan seringkali lebih rendah dibandingkan dengan buruh laki-laki, rendahnya upah buruh ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan merupakan pekerja tidak berupah (unpaid worker). Selain itu, masuknya perempuan dalam sector perburuhan juga dianggap menguntungkan system kapitalisme karena perempuan dianggap sebagai tenaga cadangan yang tak terbatas, sebagai akibatnya posisi tawar buruh semakin rendah dan sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh, dan akhirnya akumulasi kapital semakin cepat. Banyak analisis yang menyimpulkan bahwa salah satu musuh terbesar kapitalisme adalah feminisme.

Oleh karena itu menurut penganut feminisme Marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari eksploitatif yang bersifat structural. Aliran ini, tidak menganggap patriarki ataupun kaum laki-laki sebagai permasalahan, akan tetapi justru system kapitalisme yang menjadi penyebabnya. Dari perspektif ini, maka emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga.

Aliran konflik yang ketiga adalah Feminisme Sosialis. Feminis sosialis mulai dikenal tahun 1970-an. Mitchel dengan bukunya Women’s Estate (1971 dalam Mufidah, 2004:43) telah meletakkan asar-dasar feminisme sosialis. Menurutnya politik penindasan sebagai suatu konekuensi baik penindasan kelas maupun penindasan patriarkis. Penganut aliran ini, menerima dan menggunakan prinsip dasar Marxisme dan memperluasnya dengan bidang yang selama ini diabaikan oleh teori Marxis konvensional, dengan menggabungkan feminis radikal dan feminis Marxis. (Bhasin, 1996:38). Menurut banyak kalangan terutama pengikut gerakan perempuan, aliran ini dianggap lebih memiliki harapan, karena analisis yang ditawarkan lebih dapat diterapkan. Bagi feminisme sosialis, penindasan perempuan terjadi di kelas manapun, bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Asumsi yang digunakan oleh femisnis sosialis adalah bahwa hidup dalam masyarakat yang kapitalis bukansatu-satunya penyebab keterbelakangan perempuan sebagai perempuan (Amal, 1995 dalam Ichrom, 1995:105). Feminis sosialis menolak visi Marxis yang meletakkan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Sebaliknya, feminisme tanpa kesadaran kelas juga menimbulkan masalah. Oleh karena itu analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis kelas. Dengan demikian kritik terhadap eksploitasi kelas dari system kapitalisme harus dilakukan pada saat yang sama dengan disertai kritik ketiadakadilan gender yang mengakibatkan dominasi, subordinasi dan marginalisasi atas kaum perempuan. (Fakih, 1997:89-90)

Lebih lanjut dijelaskan bahwa teori kapitalis patriarki, yang diungkapkan pertama kali oleh Zillah Eisenstein, menyamakan dialektika antara struktur kelas kapitalis dengan struktur hirarki seksual. Eisenstein memulai teorinya dengan tesis perempuan sebagai suatu kelas (women as a class) yang diterapkan, dengan menguraikan apa yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan (alienation), untuk melihat nasib perempuan. Dalam analisanya, Eisenstein melihat bahwa patriarki sudah muncul sejak sebelum kapitalisme dan tetap ada dan bahkan semakin parah pada era pasca kapitalisme. Pandangan ini agak berbeda dengan Engels yang justru melihat persoalan ekonomi, yakni pada awal timbulnya private property yang membawa akibat pada pendominasian kaum perempuan.

Selain aliran-aliran feminis sebagaimana tersebut, ada satu aliran feminis yang dikenal dengan feminis Post-Modern. Aliran atau pendekatan ini berupaya menolak pendekatan-pendekatan terdahulu, dengan melakukan dekonstruksi total, bukan hanya terhadap relasi dan definisi gender, tetapi utamanya pada definisi perempuan. Menurut aliran ini, tida satu subyek atau gagasan yang memiliki identitas yang berdiri sendiri terpisah dari latar belakang sosial, politik, budaya dan sejarah. Dengan demikian tidak ada satu pun definisi “perempuan” atau “gender” yang ditetapkan hanya dari perspektif perempuan atau laki-laki. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pendekatan feminis post-modern ini dapat membantu usaha merekonstruksi proses pembentukan identitas gender dan pelembagaan identitas gender dalam lingkup interbasional.

Salah satu kelemahan pendekatan ini, menurut Whitworth bahwa relativitas yang menjadi inti pendekatan ini justru mempersulit upaya untuk mencari jalan guna meningkatkan posisi tawar perempuan.

5. Keadilan Gender dan Agenda Pembangunan

Pertanyaan pertama sebelum kita membahas tentang keadilan gender dan agenda pembangunan, adalah mengapa pembangunan merupakan isu gender? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat sekilas paradigma pembangunan yang selama ini diterapkan di hampir semua negara di dunia. Paradigma pembangunan yang dominan dan dianggap telah mapan adalah paradigma pembangunan yang hanya megutamakan factor ekonomi, khususnya adalah pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek lain seperti aspek-aspek kemanusiaan. Oleh karena itu, meskipun pertumbuhan ekonomi di berbagai negara menunjukkan angka yang tinggi, justru semakin memperlebar jurang kemiskinan (terutama pada kelompok perempuan). Kenyataan menunjukkan bahwa hasil pembangunan belum secara merata dapat dinikmati. Artinya pembangunan belum memberi manfaat secara adil baik kepada laki-laki maupun perempuan.

Pembangunan yang dianggap “netral” (tanpa membedakan laki-laki dan perempuan) dan diharapkan dapat memberi efek manfaat yang sama kepada semua warga, justru memberi kontribusi munculnya ketidaksamaan dan ketidakadilan gender. Bentuk-bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dikenal dengan istilah kesenjangan gender (gender gap) dan berakibat timbulnya permasalahan gender (gender issues).

Kesenjangan jender di berbagai bidang pembangunan itu misalnya dapat dilihat dari :

§ Masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha terutama di sector sekir formal;

§ Rendahnya akses perempuan terhadap sumberdaya ekonomi, seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, dan modal kerja;

§ Pembagian kerja yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan telah terlibat dalam pekerjaan produksi, namun kerja kerja reproduksi di dalam rumah tetap dianggap sebagai tanggung jawab perempuan;

§ Posisi perempuan di wilayah social dan politik masih rendah dibandingkan dengan laki-laki;

§ Meskipun penghasilan perempuan pekerja memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penghasilan dan kesejahteraan keluarga, namun perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan dan pekerja keluarga, dan dianggap tenaga cadangan (sekunder);

Dalam kajian gender, kepentingan perempuan untuk memperbaiki posisi/statusnya dalam masyarakat menjadi semakin terganggu jika kesulitan ekonomi ekonomi menekan mereka. Sebab itu mengintegrasikan perspektif gender dalam program pembangunan menjadi keharusan dengan alasan obyektif yaitu perbaikan perekonomian (economic performance) sekaligus alasan subyektif yaitu demi keadilan ekonomi dan kesetaraan gender. Oleh karenanya, menjadi kewajiban bagi pemerintah dan khusus bagi pengambil kebijakan untuk secara sengaja melakukan tindakan khusus (special measures) dengan mempertimbangkan kondisi spesifik perempuan yang ditujukan untuk memperbaiki statusnya. Akhirnya memungkinkan perempuan (semua orang) untuk ikut terkibat dalam pembangunan termasuk pembangunan ekonomi (sehingga bukan saja sebagai obyek melainkan juga sebagai subyek pembangunan).

Itulah sebabnya, sejak dua decade terakhir ini, tolok ukur keberhasilan pembangunan di suatu negara bukan hanya dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Develeopment Index (HDI) yang mengukur pencapaian pembangunan keseluruhan ari suatu negara secara umum (tanpa membedakan laki-laki dan perempuan seperti aspek ekonomi, kesehatan dan pendidikan, tetapi juga dilihat dari aspek keadilan gender yaitu Indeks Pembangunan Gender IPG)/Gender-related Development Index(GDI) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)/Gender Empowerment Measure (GEM). IPG mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dan menggunakan indicator yang sama dengan IPM tetapi lebih diarahkan untuk mengungkap ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan IDG memperlihatkan apakah perempuan dapat mengambil peran aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik. IDG lebih memfokuskan pada partisipasi, mengukur ketimpangan gender pada bidang-bidang kunci dalam partisipasi ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan.

Oleh karena itu dua indicator yaitu Indeks Pembenagunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) merupakan bagian yang sangat penting dan tidak dapat dilepaskan dari Indeks Pembangunan Gender. Hasil pengukuran Human Development Report tahun 2000, Indeks Pembangunan Gender Indonesia (IPG) menempati urutan ke 109 dari 174 negara yang diukur, hal berarti lebih rendah dari negara-negara ASEAN yang lain (Meneg PP, 2001,14-15).

Bagaimana dengan perkembangan pembangunan manusia di Indonesia? Kemajuan pembangunan manusia berbeda-beda antardaerah/propinsi dan kabupaten/kota. Di semua propinsi di Indonesia, nilai IPG lebih rendah daripada IPM, kenyataan ini menunjukkan terjadinya ketumpangan gender di mana-mana. Pada kurun waktu 1996-1999, jarak antara IPM dan IPG semakin mengecil, menunjukkan adanya kemajuan dalam mengurangi ketimpangan gender.

Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 yang melanda negara Indonesia, maka pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami penurunan di semua propinsi. Bila dibandingkan dengan tahun 1996, IPM yang dicapai pada tahun 1999 terlihat semakin jauh dari nilai maksimum. Penurunan IPM ini juga diikuti dengan penurunan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Secara nasional penuruan IPM dan IPG. Secara nasional penurunan IPM dan IPG sekitar 5%, sedangkan penurunan IDG cukup tajam yaitu sebesar 15%. Penurunan IDG yang relatif besar ini sebagai akibat turunnya proporsi perempuan di DPRD, dibanding dengan Pemilu 1992. hal ini menunjukkan bahwa pemilihan yang demokratis tidak menjamin peningkatan keterwakilan perempuan. (Meneg PP, 2000,1-3)

Melihat kenyataan yang ada, maka mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam pembangunan dapat meningkatkan produktivitas sekaligus efisiensi dalam penggunaan sumber daya pembangunan. Untuk itu, maka perlu pembangunan yang responsive jender yaitu pembangunan yang responsif terhadap pengalaman, aspirasi, dan permasalahan perempuan dan laki-laki.

6. Pendekatan Pembangunan

Di berbagai negara dunia ketiga terutama sejak dua decade terakhir, telah mengembangkan suatu kebijakan, program dan proyek yang secara khusus dirancang untuk membantu perempuan. Namun, sampai sejauhmana perencanaan itu telah memenuhi kebutuhan gender perempuan, maka perlunya penelaahan konsep yang mendasari berbagai pendekatan kebijakan tersebut. Ada lima pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Kesejahteraan

Ada tiga asumsi pendekatan kesejahteraan. Pertama, perempuan dianggap lebih sebagai penerima pasif daripada sebagai subyek pembangunan. Kedua, peran pengasuhan (motherhood) merupakan peran yang paling penting bagi perempuan dalam masyarakat. Ketiga, mengasuh anak adalah peran perempuan yang paling efektif dalam semua aspek pembangunan ekonomi. Penedekatan ini dianggap berorientasi pada keluarga, dengan pusat perhatian pada kelompok perempuan dalam peran produktif, serta mengasumsikan laki-laki memiliki peran produktif, hubungan ibu-anak sebagi pusat perhatian mereka. Implementasi pendekatan ini dalah pemberian bantuan cuma-cuma secara top down dan ketrampilan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Akan tetapi pendekatan ini lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan praktis gender yang berkaitan dengan peran reproduksi perempuan. Penekatan ini mengidentifikasi perempuan sebagi persoalan daripada sebagai sumberdaya. Oleh karena pendekatan ini menggunakan metode top down dalam pelaksanaannya, maka pendekatan inijustru menimbulkan ketergantungan perempuan dan tidak membantunya untuk lebih mandiri. Meskipun demikian pendekatan kesejahteraan ini lebih popular karena aman secara politis, tidak mempersoalkan peran tradisional yang diterima perempuan dalam pembagian kerja secara seksual. Akan tetapi dengan asumsi-asum tersebut justru mengesampingkan peranperempuan dalam program pembangunan yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pembangunan yang besar dan menyediakan dana pembangunan dalam proporsi yang signifikan. (Mosse, 1996: 198)

2. Pendekatan Keadilan

Pendekatan ini menyadari bahwa perempuan adalah peserta aktif dalam proses pembangunan. Sebab melalui peran reproduktif dan produktif, perempuan memberi sumbangan yang penting, meskipun sumbangan tersebut acapkali tidak diakui bagi pertumbuhan ekonomi. Asumsi pokok pendekatan ini adalah bahwa strtegi-strategi ekonomi seringkali berdampak negatif pada kaum perempuan, dan karena itu kaum perempuan hrus dilibatkan dalam proses pembangunan dengan meningkatkan akses dan kesempatan kerja, sehingga pendekatan ini menyadari akan kebutuhan praktis gender terutama dalam memperoleh pekerjaan. Buvinic (1986) menjelaskan bahwa focus utama pendekatan ini adalah ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan publik, pribadi maupun dalam kelompok-kelompok social ekonomi. Pendekatan ini juga menjelaskan bahwa asal usul subordinasi kaum perempuan tidak hanya dalam konteks keluarga, tetapi juga dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan di lokasi pasar (market place), sehingga pendekatan ini lebih mementingkan kemandirian ekonomi sebagai wujud keadilan.Pendekatan ini berusaha mengurangi ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam pembagian kerja secara seksual, maka pendekatan keadilan ini juga memenuhi kebutuhan strategis gender. Program-program keadilan ini diidentifikasikan sebagai persamaan hak. Ide pokoknya adalah pengabaian peran perempuan dalam proses pembangunan, karena itu perlu suatu proses redistribusi, dimana kaum laki-laki harus membagi sedemikian rupa sehingga kaum perempuan dari semua tingkatan social ekonomi memperoleh manfaat, dan laki-laki di semua tingkatan dapat mengurangi kekuasaannya, bahkan jika perlu melalui diskriminasi positif.

3. Pendekatan Anti Kemiskinan

Pendekatan anti kemiskinan atau anti poverty approach melihat bahwa ketidakadilan ekonomi antara laki-laki dan perempuan tidak dikaitkan dengan subordinasi, tetapi berkaitan dengan kemiskinan, karena itu perhatiannya bergeser dari upaya mengurangi ketidaksamaan pendapatan. Menurut Buvinic (1983) pendekatan ini merupakan versi lain dari pendekatan keadilan, yang timbul sebagai akibat keengganan lembaga-lembaga pembangunan untuk melakukan campur tangan terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah terbentuk dalam masyarakat tertentu.

Pusat perhatian pendekatan ini pada anti kemiskinan peran produktif perempuan. Hal ini mengacu pada anggapan bahwa penghapusan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang seimbang perlu adanya peningkatan produktifitas perempuan di rumah tangga berpenghasilan rendah. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa akar kemiskinan perempuan dan ketimpangannya dengan laki-laki disebabkan lemahnya kepemilikan tanah dan kepemilikan modal secara pribadi, dan diskriminasi seksual pada pasar kerja. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebebasan untuk memperoleh kesempatan kerja dan peningkatan penghasilan di kalangan perempuan kelas bawah dengan membuka akses terhadap sumber-sumber ekonomi( akses terhadap sumberdaya produktif). Perhatian utama pendekatan ini adalah pada kebutuhan strategis, terutama pada program KB untuk mengurangi kelahiran, program pendidikan dan ketenagakerjaan.

4. Pendekatan Efisiensi

Tekanan pendekatan efisiensi, bergeser dari perempuan ke pembangunan, dengan asumsi bahwa meningkatnya partisipasi ekonomi perempuan di negara dunia ketiga, secara otomatis terkait dengan keadilan. Menurut pendekatan ini, pembangunan hanya akan efisien bila perempuan dilibatkan. (Mosse, 1996: 206) Asumsi bahwa partisipasi ekonomi dapat meningkatkan status perempuan dan berkaitan dengan keadilan telah dikritik secara luas, seperti halnya pengidentifikasian beberapa faktor pokok yang menghambat partisipasi perempuan seperti rendahnya tingkat pendidikan dan teknologi yang kurang produktif. Maguire (1984) berpendapat bahwa pergeseran dari sumberdaya manusia yang ada untuk pembangunan disia-siakan atau dimanfaatkan secara maksimal. Sementara apa yang disebut industri pembangunan menyadari bahwa perempuan sangat penting untuk keberhasilan pembangunan secara keseluruhan, namun betapa pun hal itu bukan lantas berarti bahwa pembangunan meningkatkan perempuan.

5. Pendekatan Empowerment (Penguatan Diri)

Pendekatan ini berkembang sebagai akibat adanya ketidakpuasan terhadap pendekatan awal Women In Development (WID) seperti pendekatan keadilan, karena dianggap dikooptasikan terhadap pendekatan anti kemiskinan dan efisiensi. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan keadilan, tidak hanya asal usulnya, melainkan juga dalam sebab-sebab, dinamika dan struktur penindasan perempuan yang diusutnya sebagai strategi, yang bermaksud merubah posisi perempuan di dunia ketiga.

Pendekatan ini berdasarkan asumsi dasar yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan dan pembangunan sebagaimana yang mendasari pendekatan-pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini berusaha mengidentifikasi kekuasaan dalam rangka meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal perempuan. Pendekatan ini tidak menekankan pada “status” perempuan secara relatif terhadap laki-laki, seperti pendekatan keadilan tetapi berupaya memberikan kekuasaan kepada perempuan melalui pendistribusian kembali kekuasaan di dalam dan di antara masyarakat.

Perbedaan penting antara pendekatan empowerment dengan pendekatan keadilan adalah pada cara, di mana pendekatan empowerment berupaya untuk menmcapai kebutuhan strategis gender secara tidak langsung melalui kebutuhan praktis gender. Beda dengan pendekatan keadilan yang melakukan pendekatan konfrontasi, pendekatan empowerment membangun basis kebutuhan praktis gender sebagai basis bagi landasan yang kuat untuk mencapai kebutuhan strategis gender (*).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar