Kamis, 01 Januari 2009

Diabetes Melitus

Secara umum insiden IDDM akan meningkat sejak bayi hingga mendekati pubertas, namun semakin kecil setelah pubertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Diagnosis yang telat tentunya akan menimbulkan kematian dini

Diabetes mellitus merupakan pe­nya­kit kronis yang memerlukan pengobatan jangka panjang de­ngan biaya tinggi untuk mengon­trol dan mencegah perburukan aki­bat komplikasi, tutur para pakar en­do­krinologi Indonesia, terutama Prof. Dr. Si­dartawan Soegondo, Sp.PD, KEMD, FACE, ketua Persatuan Diabetes Indo­ne­sia (PERSADIA) tahun 2005-2008. Ber­da­sarkan kon­sensus Perkumpulan Endo­kri­no­log In­do­nesia (PERKENI), diabetes mellitus dibagi menjadi tiga tipe; tipe 1, diabetes mellitus akibat defisiensi hormon insulin sel beta pulau-pulau Langerhans. Tipe 2, diabetes mellitus akibat resistensi insulin di membran sel. Serta tipe 3, diabetes mellitus yang tidak terklasifi­ka­sikan.

Insulin merupakan hormon anabolik yang diproduksi di sel-sel beta pulau-pu­lau Langerhans pankreas. Inadekuat, hi­lang, destruksi, atau berkurangnya jumlah sel-sel ini akan menyebabkan diabe­tes mellitus tipe 1 yang membutuhkan in­su­lin (insulin-dependent diabetes mellitus IDDM). Hampir sebagian besar anak-anak dengan diabetes mellitus tergolong da­lam tipe ini.

Diabetes mellitus tipe 2, yang tidak ter­gantung insulin, non-insulin-dependent diabetes mellitus NIDDM bisa juga terjadi akibat kelainan genetik. Hampir semua penderita NIDDM memiliki resistensi in­su­lin dan sel-sel beta tidak dapat meng­kom­pensasi resistensi ini. Meskipun se­belumnya tipe ini jarang ditemui di anak-anak, namun kecenderungan saat ini se­ki­tar 20% dari total anak-anak penderita diabetes mellitus menderita NIDDM karena tingkat obesitas pada anak yang se­ma­kin tinggi. Selain itu resistensi insulin juga memang bisa terjadi akibat kelainan genetik yang menyebabkan Maturity On­set Diabetes of the Young (MODY).

Epidemiologi dan patofisiologi

Secara umum di dunia terdapat 15 ka­sus per 100.000 individu pertahun yang men­derita DM tipe 1. Tiga dari 1000 anak akan menderita IDDM pada umur 20 tahun nantinya. Insiden DM tipe 1 pa­da anak-anak di dunia tentunya berbeda. Terdapat 0.61 kasus per 100.000 anak di Cina, hingga 41.4 kasus per 100.000 anak di Finlandia. Angka ini sangat ber­variasi, terutama tergantung pada ling­kungan tempat tinggal. Ada kecenderung­an semakin jauh dari khatulistiwa, angka kejadiannya akan semakin tinggi. Meski belum ditemukan angka kejadian IDDM di Indonesia, namun angkanya cenderung le­bih rendah dibanding di negara-negara eropa.

Lingkungan memang mempengaruhi ter­jadinya IDDM, namun berbagai ras da­lam satu lingkungan belum tentu memi­liki perbedaan. Orang-orang kulit putih cende­rung memiliki insiden paling tinggi, se­dangkan orang-orang cina paling rendah. Orang-orang yang berasal dari daerah de­ngan insiden rendah cenderung akan le­bih berisiko terkena IDDM jika bermigrasi ke daerah penduduk dengan insiden yang lebih tinggi. Penderita laki-laki lebih ba­nyak pada daerah dengan insiden yang ting­gi, sedangkan perempuan akan lebih be­risiko pada daerah dengan insiden yang rendah.

Secara umum insiden IDDM akan me­ningkat sejak bayi hingga mendekati pu­bertas, namun semakin kecil setelah pu­bertas. Terdapat dua puncak masa kejadian IDDM yang paling tinggi, yakni usia 4-6 tahun serta usia 10-14 tahun. Ka­dang-kadang IDDM juga dapat terjadi pa­da tahun-tahun pertama kehidupan, mes­ki­pun kejadiannya sangat langka. Diag­no­sis yang telat tentunya akan menimbul­kan kematian dini. Gejala bayi dengan IDDM ialah napkin rash, malaise yang ti­dak jelas penyebabnya, penurunan berat ba­dan, senantiasa haus, mun­tah, dan de­hidrasi.

Insulin merupakan kom­ponen vital da­lam metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. In­su­lin menurunkan kadar glu­ko­sa darah dengan ca­ra memfasilitasi ma­suk­nya glukosa ke dalam sel, terutama otot serta mengkonversi glukosa menjadi glikogen (glikoge­nesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga menghambat pe­le­pas­an glukosa dari glikogen hepar (gli­ko­ge­nolisis) dan memperlambat pemecah­an lemak menjadi tri­gliserida, asam lemak be­bas, dan keton. Selain itu, insulin juga menghambat pe­mecahan protein dan le­mak untuk memproduksi glukosa (glukoneogenesis) di he­par dan ginjal. Bisa di­ba­yangkan betapa vitalnya peran insulin da­lam metabolisme.

Defisiensi insulin yang dibiarkan akan menyebabkan tertumpuknya glukosa di da­rah dan terjadinya glukoneogenesis te­rus-menerus sehingga menyebabkan ka­dar gula darah sewaktu (GDS) meningkat drastis. Batas nilai GDS yang sudah di­ka­te­gorikan sebagai diabetes mellitus ialah 200 mg/dl atau 11 mmol/l. Kurang dari itu dikategorikan normal, sedangkan ang­ka yang lebih dari itu dites dulu dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) untuk me­nentukan benar-benar IDDM atau ka­tegori yang tidak toleran terhadap glu­kosa oral.

Gejala klinis

Tanda-tanda yang paling mudah dikenali ialah tanda-tanda akibat hipergli­ke­mia, glikosuria, dan ketoasidosis. Hi­per­glikemia itu sendiri bisa tidak menimbul­kan gejala apa-apa, meskipun kadang di­te­mukan malaise, sakit kepala, dan ke­le­mahan tubuh. Anak-anak juga menjadi irritable, mudah marah, dan sering ngambek, namun gejala utama hiperglikemia ialah akibat diuresis os­motik dan glikosu­ria. Gli­kosuria itu sendiri merupakan pe­ningkatan fre­kuen­si dan volume urin (po­­liuri) sehingga sering membuat anak-anak se­ring mengompol di malam hari. Gejala ini mudah di­kenali pada bayi karena se­ring sekali minum dan banyak sekali urin pada diapernya.

Polidipsia terjadi karena terdapat diu­resis osmotik sehingga menyebabkan de­hi­drasi. Penurunan berat badan terjadi ka­rena terjadi pemecahan lemak dan protein dalam jumlah banyak, meskipun naf­su makan anak relatif normal. Kegagalan tumbuh mungkin menjadi tanda utama yang membuat orang tua khawatir dengan anaknya sehingga memeriksakan ke dokter dan biasanya akan ditemukan hiperglikemia primer.

Malaise yang nonspesifik dapat terjadi kapan saja, terutama sebelum ditemu­kan­nya tanda-tanda hiperglikemia, atau mung­kin dapat menjadi petanda tersen­di­ri selain hiperglikemia, sehingga bukan se­bagai tanda klinis yang khas. Gejala lain yang sangat perlu dikenali ialah ge­jala-gejala pada ketoasidosis, yakni de­hi­drasi berat, tercium bau keton di mulut, napas asidosis (Kussmaul) yang mirip res­piratory distress, nyeri abdomen, mun­tah, somnolen hingga koma. Selain itu anak juga akan rentan terhadap infeksi karena terdapat penurunan imunitas aki­bat hiperglikemia, terutama infeksi sa­luran napas, saluran kemih, dan kulit, se­hingga dapat ditemukan kandidosis. Yang paling sering dan mudah dikenali ialah kandidosis di daerah selangkangan.

Selain gejala malaise dan dehidrasi, anak-anak dengan diabetes dini tidak me­mi­liki tanda yang khas pada tubuhnya. Mengingat penyakit endokrin autoimun ba­nyak terjadi pada anak dengan IDDM, mungkin dapat ditemukan gejala en­do­kri­nopati lain, misalnya hipertiroidisme de­ngan gejala overaktivitas, cepat lelah, atau teraba gondok. Katarak dapat terjadi namun sangat jarang, kalaupun ada bia­sanya pada anak perempuan dengan hiperglikemia pada jangka waktu lama. Da­pat ditemukan nekrobiosis lipoidika, be­rupa daerah atrofi berwarna merah yang berbatas tegas. Kondisi ini terjadi akibat luka pada kolagen kulit dan sulit untuk diobati.

Penyebab

Hampir semua (95%) kasus IDDM terjadi karena kombinasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi ini menyebabkan ter­jadinya destruksi autoimun pada sel beta pulau-pulau Langerhans. Defisiensi insulin baru terjadi saat 90% sel beta sudah mengalami destruksi.

Komponen genetik yang menyebabkan IDDM sudah jelas diteliti, yakni molekul DR3 dan DR4 pada HLA kelas II. Lebih dari 90% anak kulit putih memiliki ekspresi DR3 dan/atau DR4 pada HLA mereka. Pasien yang memiliki ekspresi DR3 juga berisiko memiliki endokrinopati autoimun dan penyakit celiac. Pasien-pasien ini sa­ngat berisiko menderita IDDM di kemu­dian hari karena telah terdeteksi adanya an­tibodi anti sel-sel beta. Pasien dengan DR4 umumnya menderita IDDM pada usia dini dan dapat ditemukan anibodi an­ti sel-sel beta namun tidak ditemukan endokrinopati autoimun lainnya. Fre­kuen­si terjadinya IDDM pada anak ialah 2-3% jika sang ibu menderita diabetes dan 5-6% pada anak dengan ayah diabetes. Ang­kanya menjadi 30% pada anak de­ngan ayah ibu menderita diabetes.

Komponen lingkungan yang menye­bab­kan IDDM sangat berperan penting dan sifatnya sangat multifaktorial. Ada pe­nelitian yang menyebutkan bahwa in­fek­si virus Rubella dapat memodifikasi kom­ponen autoimun sehingga ibu yang meng­alami infeksi ketika hamil cende­rung memiliki anak yang bebas penyakit au­toimun, sebaliknya angka kejadian IDDM jauh meningkat pada ibu yang sa­ngat rendah terekspos dengan infeksi ke­ti­ka hamil. Anak-anak yang disusui oleh ibu­nya waktu kecil juga sedikit menderita IDDM, sedangkan terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa sebagian protein susu sapi (albumin serum bovine) me­miliki antigen yang mirip dengan sel-sel beta. Nitrosamin, bahan pengawet ma­kanan dan campuran air minum, juga dilaporkan dapat menyebabkan IDDM pada hewan, namun belum ada bukti da­pat terjadi pada manusia.

Senyawa kimia yang dapat menyebab­kan IDDM ialah Streptozocin dan RH-787, racun tikus yang spesifik menghancurkan sel-sel beta sehingga menyebabkan IDDM. Penyebab lainnya ialah tidak ada­nya pankreas atau sel beta kongenital sejak lahir, telah dilakukan pankreatektomi, atau telah terjadi disfungsi pankreas akibat penyakit lain, seperti fibrosis kis­tik, pankreatitis kronik, talasemia mayor, hemokromatosis, serta sindrom uremia hemolitik. Penyakit lainnya ialah sindrom Wolfram (diabetes insipidus, diabetes me­llitus, atrofi optik, dan tuli) serta ke­lainan kromosom (sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, atau sin­drom Prader-Willi).

Pemeriksaan penunjang

Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi secara rutin, yang lebih berperan ialah pe­meriksaan lab. Pemeriksaan Gula Da­rah Sewaktu (GDS) dan Glukosa Darah Pua­sa (GDP) paling sering dilakukan. Ba­tas­nya 200 mg/dl (11 mmol/l) untuk GDS dan 120 mg/ml (7 mmol/l) untuk GDP. Selain darah, glukosa urin dapat me­nunjang diagnosis dan keton urin da­pat menjadi petanda Ketoasidosis Dia­be­tik (KAD), meskipun keton urin normal di­temukan pada orang yang lapar dan pua­sa. Ketonuria dapat menjadi marker jika terdapat defisiensi insulin dan gejala klinis yang menunjang KAD.

Hemoglobin yang terglikosilasi (HbA1a, HbA1b, dan HbA1c) merupakan ha­sil reaksi glukosa dengan hemoglobin yang nonenzimatik. Jika terjadi hipergli­ke­mia pada waktu yang lama maka permu­kaan hemoglobin akan terglikosilasi tan­pa enzim tertentu, sehingga akan terbentuk ikatan glikosilat pada minggu ke 8-10. Petanda ini menjadi penting karena da­pat memantau perjalanan penyakit, bia­sanya diperiksa setiap tiga bulan se­kali. Kisaran angka normal ialah 7-9%. Di bawah 7 berarti telah terjadi hipoglikemia dalam waktu lama, sedangkan di atas 9 berarti makin rentan terdapat komplikasi diabetes mellitus jangka panjang.

Pemeriksaan fungsi ginjal tidak perlu di­lakukan sebagai pemeriksaan rutin, se­mentara pemeriksaan kimia darah lain yang tersier, misalnya antibodi anti sel be­ta dan antibodi anti insulin tidak harus di­lakukan karena bukan merupakan mar­ker yang spesifik IDDM. Anak-anak de­ngan IDDM juga kadang memiliki en­do­kri­nopati autoimun lainnya, sehingga perlu di­lakukan pemeriksaan kadar tiroid. Pada daerah dengan makanan pokok gandum, IDDM juga dapat menyebabkan penyakit celiac dan dapat ditemukan antibodi anti­gliadin (mis. Antiendomysial dan anti­trans­glutaminase).

Tes lain yang sering dilakukan ialah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). De­ngan tes ini diabetes mellitus dapat di­singkirkan jika terdapat hiperglikemia atau glukosuria tanpa adanya penyebab ti­pikal (penyakit kronis, terapi steroid) atau saat kondisi pasien memang meng­alami glukosuria. Tes ini dilakukan de­ngan melakukan pemeriksaan GDP kemudian memberikan glukosa oral (2 g/kg un­tuk anak <3>10 ta­hun) dan dites dua jam kemudian. Angka GDP di atas 120 mg/dl (6,7 mmol/l) dan GDS 2 jam PP di atas 200 mg/dl (11 mmol/l) merupakan petanda diabetes mellitus. OGTT yang dimodifikasi juga da­pat dikerjakan untuk mengenali MODY. Pa­da MODY dan DM tipe 2, selain pening­katan GDP-GDS, dapat ditentukan insulin atau c-peptide (termasuk prekursor) da­lam kadar yang bervariasi. Profil lipid juga sebaiknya dikerjakan. Albumin urin (albumin excretion rate) dapat dites untuk me­mantau terjadinya mikroalbuminuria, pe­tan­da dini nefropati DM.

Tata laksana

Semua penderita IDDM membutuhkan terapi insulin. Hanya anak-anak dengan de­hidrasi berat, muntah terus-menerus, ke­lainan metabolk, atau anak dengan pe­nyakit kronis yang membutuhkan pera­wat­­an di rumah sakit dengan rehidrasi in­tra­vena. Pengobatan pun harus dilaksa­na­kan secara terpadu; orang tua dan anak diajarkan untuk senantiasa mengecek sendiri kadar gula darah, menginjeksi insulin, serta untuk mengenali dan meng­obati hipoglikemia. Diperlukan konsultasi ke ahli gizi, ahli diabetes, ahli oftalmologi, serta kadang psikolog.

Diet untuk anak dengan IDDM merupa­kan komponen yang sangat esensial. Tu­juan diet pada IDDM ialah menyeimbang­kan asupan makanan dengan dosis in­su­lin dan aktivitas dengan cara menjaga ka­dar glukosa dalam rentang normal. Se­baik­nya dapat diperkirakan jumlah karbohidrat yang dikandung dalam suatu ma­kan­an terutama bagi yang menggunakan insulin kerja cepat secara injeksi atau pom­pa ketika makan. Karbohidrat kompleks (mis. Sereal) dapat dikonsumsi se­be­lum tidur untuk mencegah terjadinya hi­poglikemia nokturnal, terutama bagi yang mengkonsumsi insulin dua kali se­hari.

DM merupakan kelainan metabolisme energi sehingga asupan makanan harus di­­jaga agar sebisa mungkin membatasi nu­trisi yang membutuhkan metabolisme energi. Saat ini makanan yang dianjurkan ia­­lah tinggi serat dan karbohidrat namun ren­dah lemak. Karbohidrat sebaiknya 50-60% dari total asupan energi, tidak lebih da­ri 10% da­ri sukrosa. Lemak harus ku­rang dari 30% dan protein sebanyak 10-20%.

Tidak ada pantangan untuk beraktivitas bagi penderita IDDM, namun kadang setelah melakukan aktivitas berat dapat terjadi hipoglikemia yang meliputi tung­kai, menyebabkan sulit berjalan, lari, atau bersepeda. Setelah beraktivitas be­rat disarankan mengkonsumsi kudapan da­lam jumlah agak banyak sebelum tidur.

Insulin mutlak diperlukan bagi penderi­ta IDDM dengan rute pemberian yang ber­aneka macam. Januari 2006 lalu US-FDA telah menyetejui penggunaan insulin in­ha­ler untuk dewasa yang diekstrak dari ma­nusia (rDNA), namun dicabut kembali ka­rena harganya tidak dapat dijangkau se­mua kalangan. Terdapat tiga golongan in­sulin secara klinis, yakni short-acting (mis. Regular, soluble, lispro, aspart, glu­li­sine), medium dan intermediate-acting (isophane, lente, dentemir), serta long-act­ing (ultralente, glargine). (Baca Terapi Insulin untuk Praktek Sehari-hari)

Selain insulin, obat-obatan lain yang per­lu diwaspadai mengurangi efek hipo­gli­kemik insulin ialah asetazolamid, ARV, as­paraginase, fenitoin, isoniazid, diltia­zem, diu­retik, kortikosteroid, tiasid, es­tro­gen ti­roid, kalsitonin, kontrasepsi oral, diazoxide, dobutamin, fenotiazin, siklo­fos­famid, litium karbonat, epinefrin, mor­fin, dan nia­sin. Sedangkan obat yang me­ning­katkan efek hipoglikemik insulin ialah ACE-in­hi­bi­tor, alkohol, tetrasklin, penye­kat beta, ste­roid anabolik, piridoksin, sa­li­silat, MAO-inhibitor, mebendazole, sulfo­namid, fenil­bu­tazon, klorokuin, klofibrat, fenfluramin, gua­nethidine, octreotide, pen­tamidine, dan sulfinpyrazone

1 komentar: